Al-Kindi (185-252 H/801-816 M)

Biografi Al-Kindi


Abu Yusuf bin Ishak terkenal dengan sebutan “Filsuf Arab”. Ia keturunan Arab asli, dan silsilah nasabnya sampai kepada Ja’bur bin Qahthan, yaitu cikal bakal suku Arabia Selatan. Ayah Al-Kindi pernah menjadi gubernur Kufah pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid, dan nenek-neneknya adalah raja-raja di daerah Kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan).

Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma’mun Al-Mu’tasim dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam lapangan filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis, yaitu Abu Ja’far bin Muhammad Al-Balakhi.

Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dari penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syi’ah.

Jumlah karangannya yang sebenarnya sukar ditentukan karena dua sebab:

  1. Penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah karangannya tersebut. Ibnu an-Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 risalah, dan Sha’id al-Andalusi menyebutnya 50 buah risalah.
  2. Karangan-karangannya yang sampai kepada kita ada yang memuat karangan-karangan yang lain.

Isi karangan-karangan tersebut bermacam-macam, antara lain filsafat, logika, musik, dan aritmatika. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik oleh definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata-kata daripada menyelami problem-problem filsafat. Pada umumnya karangan-karangan Al-Kindi ringkas-ringkas dan tidak mendalam.

Karena sebagian besar karangannya telah hilang, maka sukar sekali untuk memberikan penilaian yang tepat terhadap buah pikirnya, meskipun hal ini tidak mengurangi penghargaan terhadapnya sebagai seorang filsuf yang pertama-tama memberikan ulasan dan kritik terhadap buku-buku filsafat dari masa-masa sebelumnya.

Karangan-karangannya yang terkenal ditemukan oleh seorang ahli ketimuran Jerman, Hallmuth Ritter, di perpustakaan Aya Sofia, Istambul, dan terdiri atas 29 risalah. Risalah-risalah ini membicarakan soal-soal alam dan filsafat, antara lain keesaan Tuhan, akal, jiwa, dan filsafat pertama. Risalah-risalah tersebut sudah diterbitkan di Mesir oleh M. Abdulhadi Aburaidah.

Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah:

  1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
  2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadim-nya alam.
  3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal-soal kejiwaan.
  4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
  5. Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
  6. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Alquran.


Filsafat Al-Kindi

Ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena dianggapnya sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filsuf-filsuf Islam, terutama pada masa Ibnu Rusyd.

Al-Kindi meninjau filsafat dari dalam dan dari luar. Dengan tinjauan dari dalam, ia bermaksud mengikuti pendapat filsuf-filsuf besar besar tentang arti kata-kata filsafat, dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat ia menyebutkan enam definisi yang kebanyakan bercorak Platonisme.

Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekat pula kepada kesempunaan.

Dalam keterangan Al-Kindi tersebut, terdapat unsur-unsur pikiran Plato dan Aristoteles. Unsur Aristoteles ialah pembagian filsafat kepada teori dan amalan. Unsur Plato ialah definisinya. Karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan (dhan).

Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras. Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai, mengatur, dan mengagungkan kekuatan akal dan hati. Apabila hal ini bisa dicapai oleh seseorang, dapat menerima pengetahuan, dan dengan pengetahuan ini ia akan sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan tersebut ialah ilmu hisab (aritmatik), handasah (geometri), dan falak (astronomi).

Aliran Pitagoras menempatkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Sesuai dengan itu, Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.

Dalam risalah lain yang berjudul Buku Aristoteles yang diperlukan untuk mempelajari filsafat, Al-Kindi menekankan perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan unsur-unsur kegunaan dan tingkatannya. Juga ia mengatakan bahwa matematika diperlukan juga untuk mempelajari buku-buku tersebut di samping diperlukan untuk mempelajari filsafat.

Dengan demikian, selain memperlihatkan corak Platonisme dan Pitagorisme, Al-Kindi juga merupakan pengikut Aristoteles pertama di dunia Arab.


Metafisika Al-Kindi

Mengenai metafisika, meskipun Al-Kindi umumnya menyetujui pendapat-pendapat filsafat Aristoteles dan neo-Platonisme, dalam filsafatnya sendiri yang dikemukakan pada waktu itu ia telah “mengorbankan” prinsip-prinsip Aristoteles dan neo-Platonis tentang eternal creation dan nothing can come from nothing.

The Law of Emanation dari neo-Platonisme dikemukakan oleh Al-Kindi dengan menyesuaikannya kepada asas kepercayaan Islam. Alam langit yang tertinggi sekalipun menurut Al-Kindi semuanya diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Sedangkan Tuhan sendiri berada di atas ketentuan hukum alam.

Selain dari kedua penyimpangan di atas, filsafat Al-Kindi umumnya dapat menerima prinsip-prinsip metafisika Aristoteles dan neo-Platonisme.


Tentang Kenabian dan Alquran

Mengenai soal kenabian, Al-Kindi berpendapat bahwa apa yang telah dicapai oleh para nabi adalah sederajat pengetahuan yang tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia. Menurut Al-Kindi, seorang nabi dapat mencapai tingkat itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan dengan melalui jalan intuisi (wahyu). Hal itu sudah pasti melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.

Mengenai Alquran, Al-Kindi sependapat dengan kaum Mu’tazilah bahwa kebenaran Alquran lebih dapat diyakini kebenarannya daripada hasil-hasil filsafat.

Satu lagi keistimewaan Al-Kindi daripada para filsuf Islam lain ialah penerimaannya terhadap astrologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan. Di kemudian hari, pengaruh pelajaran astrologinya ini berkesan juga pada filsuf-filsuf setelah dia, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.


Kesimpulan

Dari kenyataan-kenyataan di atas, kita bapat menyipulkan bahwa Al-Kindi sebenarnya lebih berada di antara paham Mu’tazilah dan paham filsuf-filsuf Islam sesudahnya (Al-Farabi dan lain-lain) daripada bulat-bulat berada di pihak para filsuf Islam itu. Akan tetapi, karena Al-Kindilah “filsuf” pembuka jalan yang memperkenalkan hasil-hasil filsuf Yunani itu, maka orang cenderung menempatkannya ke dalam periode filsafat Islam sebagai seorang ahli ilmu kalam (golongan mutakallimin).



Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Inovasi baru. Hebat euy...
Truskan...
From: Danton