Untuk lebih banyak mengetahui bagaimana isi filsafat metafisika Al-Ghazali secara keseluruhan, baiklah kita tinjau terlebih dahulu bagaimana polemik Al-Ghazali terhadap filsafat pada umumnya dan filsafat Ibnu Sina c.s. dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
Dalam buku itu, Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting ialah:
- Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada, sebab diciptakan oleh Tuhan.
- Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradah Tuhan.
- Al-Ghazali menyerang kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz iyat).
- Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali, segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini, jelas Al-Ghazali menyokong kepada ijra’ul adat dari Al-Asy‘ari.
Semua argumen (hujjah) Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah, dan teratur baik. Seperti kita maklum, Al-Ghazali juga terkenal sebagai seorang ulama mantik dan pemberi tuntunan dengan cara bermujadalah yang teratur. Misalnya dalam menjatuhkan prinsip kaum filsafat, la yasduru min al-wahid illa syai’un wahid Al-Ghazali mengemukakan contoh-contoh kaum filsafat sendiri. “Jisim tersusun dari ‘bentuk’ dan materi pertama”. Dan, susunan yang dualistis inilah (jadi bukan wahid lagi) yang menjadikannya benda yang satu (satu jisim). Manusia tersusun dari jisim (yang dualistis itu) dan jiwa, sedangkan kedua unsur ini tidak pula menjadi illat satu sama lain. Dan, dalam keadaan dualistis ini pula, yaitu dua unsur bersama-sama, dia merupakan illat bagi wujud yang lain.
Al-Ghazali menyanggah: “Bukankah kejadian ini telah menyeleweng dari prinsip mereka (kaum filsafat) sendiri?”
Mengenai teori emanasi kaum filsafat (nadzaritul faidl), bahwa tiap-tiap akal dari al-uqul al-mufarikah mengeluarkan tiga benda lain bersama-sama, yaitu akal, jiwa falak, serta jisim falak, dengan panjang lebar Al-Ghazali menampiknya. Sama seperti menampik mereka dari prinsipnya bahwa yang satu hanya keluar dari yang satu.
- Riwayat Hidup Al-Ghazali
- Karya Al-Ghazali
- Perkembangan Alam Pikir Al-Ghazali
- Filsafat Metafisika Al-Ghazali
- Pendapat Al-Ghazali tentang Iradah Tuhan
- Filsafat Etika Al-Ghazali
Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.
Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.
0 komentar:
Posting Komentar