Untuk mengenal pemikiran Al-Ghazali, kita perlu meninjau empat unsur yang ditentang Al-Ghazali, dan juga keempat-empatnya mempengaruhi pemikiran filsafatnya kelak dalam mencapai kebenaran. Keempat unsur itu adalah:
- Unsur pemikiran kaum mutakallimin,
- Unsur pemikiran kaum fisafat,
- Unsur kepercayaan kaum batiniyah, dan
- Unsur kepercayaan kaum sufi.
Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dengan segala macam alirannya. Kemudian ia melihat betapa perbedaan-perbedaan itu terjadi karena mereka berlainan dari segi mereka masing-masing memandang soalnya. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil mutakallimin saja. Lalu ia mendalami filsafat. Ia mempelajari karangan-karangan ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina.
Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pula pendapat-pendapat aliran batiniyah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau kebenaran yang mutlak itu hanya dapat diturunkan dari “imam yang ma’shum”, yang suci dari kesalahan dan dosa. Al-Ghazali menanyakan imam yang ma’shum itu. Tidak ada pengikut batiniah yang tahu di mana tempatnya dan kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa imam ma’shum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam alam kenyataan.
Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali lalu meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf. Ia mengharapkan dalam gerakan tasawuf inilah ia mendapat hakikat kebenaran yang dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata-mata, dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.
Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi sangat jernih, dan dengan tasawuf, ia merasa dibukakan oleh Tuhan sesuatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini.
Al-Ghazali memperoleh kesan bahwa orang-orang sufi (ahli tasawuf) itu benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak baik, dan mendapat pengetahuan yang tepat.
Dengan hasil ini, barulah Al-Ghazali merasa puas dengan penyelidikannya. Dan, segala pendapatnya tentang tasawuf itu (yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam) ditulisnya dalam buku yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin yang amat terkenal itu.
Sebagian orang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan seorang ahli tasawuf (sufi). Karena Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah, menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dan juga filsuf-filsuf golongan Islam, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa “akal” dan “filsafat” bukanlah alat yang paling utama baginya.
Sesungguhnya anggapan itu tidak benar. Kalau al-Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka tidak perlu diartikan bahwa Al-Ghazali menentang pemakaian akal dan amal filsafat. Malahan sebagliknya, seluruh prestasi Al-Ghazali dalam buku-bukunya itu dapat dianggap sebagai hasil akal dan karya filsafatnya yang sungguh-sungguh disesuaikannya dengan prinsip-prinsip agama Islam.
Kesimpulan “kebenaran” Al-Ghazali, yang dinamakan orang tasawuf Al-Ghazali, sebenarnya lebih tepat atau lebih berhak dinamakan “filsafat Islam” dibandingkan dengan hasil-hasil filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina, misalnya.
- Riwayat Hidup Al-Ghazali
- Karya Al-Ghazali
- Perkembangan Alam Pikir Al-Ghazali
- Filasafat Metafisika Al-Ghazali
- Pendapat Al-Ghazali tentang Iradah Tuhan
- Filsafat Etika Al-Ghazali
Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.
Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.
Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar