Sunan Ampel

Sunan Ampel berasal dari Campa Aceh. Nama kecilnya adalah Rahmat. Kemudian karena beliau tinggal di Jawa diberi gelar dengan Raden Rahmat.

Belian mengajarkan agama Islam di Ampel, sehingga nama beliau menjadi lebih populer dengan Sunan Ampel.

Ayah Sunan Ampel berasal dari Arab dan ibunya adalah putri Raja Campa Aceh.

Beliau berangkat ke pulau Jawa dengan maksud untuk menyiarkan Islam. Sebelum sampai di pulau Jawa beliau telah singgah di Palembang selama dua bulan. Di Palembang, beliau menjadi tamu bupati Arya Damar, patih dari kerajaan Majapahit waktu itu.

Pada saat beliau menjadi tamu Arya Damar, beliau mnegajak agar Bupati tersebut mau masuk Islam. Ternyata ajakan Sunan Ampel itu diikuti oleh Arya Damar, dan dia masuk Islam. Sesudah masuk Islam, namanya diganti dengan Aryadillah atau Abdillah.

Sesampainya Sunan Ampel di pulau Jawa, beliau menetap di Ampel, Jawa Timur, dan mendirikan pusat pendidikan.

Kemudian Sunan Ampel menikah dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban. Tuban pada saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Majapahit.

Dalam perkawinannya dengan Nyi Ageng ini, beliau dikaruniai tiga orang anak, yaitu:

  1. Makdum Ibrahim, (yang kemudian menjadi Sunan Bonang).
  2. Masih Maunat, (yang kemudian menjadi Sunan Drajat).
  3. Nyai Gede Malihah, (yang kemudian menjadi istri Sunan Giri).

Raden Rahmat (Sunan Ampel) pernah menghadapi Raja Majapahit untuk mengajaknya masuk Islam. Akan tetapi raja menolak ajakan beliau. Raja hanya membolehkan rakyatnya kalau mau masuk Islam dengan suka rela. Kemudian Sunan Ampel wafat di Ampel, Jawa Timur, pada tahun 1425 M.
Read more...

Sunan Maulana

Maulana Malik Ibrahim juga disebut dengan nama Maulana Maghribi. Dia berasal dari negara Arab keturunan Zainal Abidin bin Hasan bin Ali r.a.

Maulana Malik Ibrahim tiba di Indonesia tahun 1379 M. dan wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 882 H. bulan April 1419 M. di Gresik, Jawa Timur.

Dalam usahanya menyiarkan Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, beliau telah mengajak Hayam Wuruk—Raja Majapahit—supaya mau masuk Islam, tetapi usaha beliau itu tidak berhasil.

Usaha beliau yang tak terlupakan oleh umat Islam adalah mendirikan masjid di Gresik. Di samping itu, beliau juga membuka pondok pesantren, tempat belajar para pemuda sebagai calon muballigh Islam.

Murid-murid beliau kemudian meneruskan perjuangannya, yakni menyiarkan agama Islam ke daerah-daerah pedalaman pulau Jawa dan sekitarnya.
Read more...

Sigmund Freud (1856-1939)

Biografi dan Teori Freud

Sigmund Freud lahir tanggal 6 Mei 1856 di kota kecil Freiberg, wilayah Moravia. Ayahnya adalah seorang pedagang wool dengan pikiran maju dan rasa humor yang baik. Ibunya seorang wanita yang aktif dan merupakan istri kedua bapaknya dengan usia 20 tahun lebih muda. Ibunya melahirkan anak pertama pada usia 21 tahun, yaitu Sigmund. Sigmund punya dua orang saudara seayah yang lebih tua darinya dan enam saudara sekandung. Waktu dia berusia 4 atau 5 tahun—dia tidak yakin—keluarganya pindah ke Wina di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya.

Sebagai anak cerdas dan selalu mendapat nilai tertinggi di kelasnya, dia melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran, salah satu pilihan bergengsi bagi anak-anak Yahudi yang pintar di Wina kala itu. Semasa kuliah, dia terlibat dalam berbagai penelitian di bawah arahan profesor fisiologis bernama Ernst Brucke. Brucke menyakini sebuah konsep yang kemudian sangat populer, kalau bukan radikal, sebuah konsep yang kita kenal saat ini dengan reduksionisme: “Tidak ada kekuatan lain yang aktif di dalam organisme yang hidup selain kekuatan fisikal-kimiawi”. Selama bertahun-tahun, Freud juga berusaha “mereduksi” kepribadian menjadi neurologi, walaupun dia akhirnya menyerah dengan usahanya ini.

Freud sangat seksama dalam melakukan riset. Fokus utamanya adalah neurofisiologi, bahkan dia pernah mencoba menciptakan teknik khusus untuk merangsang sel otak. Brucke juga membantu dia mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikannya, pertama dengan psikiatris terkenal Chacot di Paris, kemudian dengan lawan Brucke sendiri, Bernheim di Nancy. Kedua ahli ini sama-sama sedang menyelidiki metode hipnotis untuk pengidap histeria.

Setelah beberapa lama membuka praktik neurologi dan direktur sebuah taman kanak-kanak di Berlin, dia kembali ke Wina dan menikah dengan Martha Bernays yang telah bertunangan dengannya beberapa tahun sebelumnya. Di sini dia mulai membuka praktik neuropsikiatri dengan bantuan Joseph Breuer.

Buku-buku dan kuliah-kuliah Freud membuat dia tersisihkan dari arus utama kalangan kedokteran waktu itu. Dia hanya memeliki beberapa kolega yang bersimpati padanya yang kemudian menjadi inti dari perkembangan psikoanalisis. Sayangnya, dia punya sifat menolak orang-orang yang tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapatnya. Ada yang menganggap ini harus dipisahkan dari prinsip persahabatan yang dia pakai, ada pula yang tidak menganggapnya demikian dan terus bersaing dengannya dalam hal pemikiran.

Freud pindah ke Inggris sesaat sebelum Perang Dunia II pecah, karena Wina sudah tidak aman lagi bagi orang Yahudi, khususnya yang terkenal seperti Freud. Tidak lama setelah itu, dia meninggal karena kanker mulut dan rahang yang telah diidapnya selama lebih kurang 20 tahun.


Teori Freud

Sebenarnya, Freud bukanlah orang pertama yang menemukan ide tentang alam sadar (conscious mind) versus alam bawah sadar (unconscious mind), tapi dialah yang membuat ide itu begitu terkenal. Alam Sadar adalah apa yang anda sadari pada saat-saat tertentu, prngindraan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda miliki. Terkait dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam pra-sadar, yaitu apa yang kita sebut saat ini dengan “kenangan yang sudah tersedia” (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat dipanggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak anda ingatwaktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi. Tidak ada masalah yang muncul dari dua lapisan ini. Namun Freud mengatakan bahwa keduanya adalah bagian terkecil dari pikiran.

Adapun bagian terbesar adalah alam bawah sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma.

Freud berpendapat bahwa alam bawah sadar adalah sumber dari motivasi dan dorongan yang ada dalam diri kita, apakah itu hasrat yang sederhana seperti makanan atau sexs, daya-daya neurotik, atau motif yang mendorong seseorang seniman atau ilmuan berkarya. Namun anehnya, kita sering terdorong untuk mengingkari atau menghalangi seluruh bentuk motif ini naik ke alam sadar. Oleh karena itu, motif-motif itu kita kenali dalam wujud samar-samar.

Untuk lebih jelasnya, nanti kita akan kembali lagi ke masalah ini.

Sumber: Buku "Personality Theories"
Penulis: Dr. C. George Boeree
Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com
Read more...

Al-Kindi (185-252 H/801-816 M)

Biografi Al-Kindi


Abu Yusuf bin Ishak terkenal dengan sebutan “Filsuf Arab”. Ia keturunan Arab asli, dan silsilah nasabnya sampai kepada Ja’bur bin Qahthan, yaitu cikal bakal suku Arabia Selatan. Ayah Al-Kindi pernah menjadi gubernur Kufah pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid, dan nenek-neneknya adalah raja-raja di daerah Kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan).

Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma’mun Al-Mu’tasim dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam lapangan filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis, yaitu Abu Ja’far bin Muhammad Al-Balakhi.

Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dari penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syi’ah.

Jumlah karangannya yang sebenarnya sukar ditentukan karena dua sebab:

  1. Penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah karangannya tersebut. Ibnu an-Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 risalah, dan Sha’id al-Andalusi menyebutnya 50 buah risalah.
  2. Karangan-karangannya yang sampai kepada kita ada yang memuat karangan-karangan yang lain.

Isi karangan-karangan tersebut bermacam-macam, antara lain filsafat, logika, musik, dan aritmatika. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik oleh definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata-kata daripada menyelami problem-problem filsafat. Pada umumnya karangan-karangan Al-Kindi ringkas-ringkas dan tidak mendalam.

Karena sebagian besar karangannya telah hilang, maka sukar sekali untuk memberikan penilaian yang tepat terhadap buah pikirnya, meskipun hal ini tidak mengurangi penghargaan terhadapnya sebagai seorang filsuf yang pertama-tama memberikan ulasan dan kritik terhadap buku-buku filsafat dari masa-masa sebelumnya.

Karangan-karangannya yang terkenal ditemukan oleh seorang ahli ketimuran Jerman, Hallmuth Ritter, di perpustakaan Aya Sofia, Istambul, dan terdiri atas 29 risalah. Risalah-risalah ini membicarakan soal-soal alam dan filsafat, antara lain keesaan Tuhan, akal, jiwa, dan filsafat pertama. Risalah-risalah tersebut sudah diterbitkan di Mesir oleh M. Abdulhadi Aburaidah.

Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah:

  1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
  2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadim-nya alam.
  3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal-soal kejiwaan.
  4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
  5. Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
  6. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Alquran.


Filsafat Al-Kindi

Ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena dianggapnya sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filsuf-filsuf Islam, terutama pada masa Ibnu Rusyd.

Al-Kindi meninjau filsafat dari dalam dan dari luar. Dengan tinjauan dari dalam, ia bermaksud mengikuti pendapat filsuf-filsuf besar besar tentang arti kata-kata filsafat, dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat ia menyebutkan enam definisi yang kebanyakan bercorak Platonisme.

Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekat pula kepada kesempunaan.

Dalam keterangan Al-Kindi tersebut, terdapat unsur-unsur pikiran Plato dan Aristoteles. Unsur Aristoteles ialah pembagian filsafat kepada teori dan amalan. Unsur Plato ialah definisinya. Karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan (dhan).

Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras. Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai, mengatur, dan mengagungkan kekuatan akal dan hati. Apabila hal ini bisa dicapai oleh seseorang, dapat menerima pengetahuan, dan dengan pengetahuan ini ia akan sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan tersebut ialah ilmu hisab (aritmatik), handasah (geometri), dan falak (astronomi).

Aliran Pitagoras menempatkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Sesuai dengan itu, Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.

Dalam risalah lain yang berjudul Buku Aristoteles yang diperlukan untuk mempelajari filsafat, Al-Kindi menekankan perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan unsur-unsur kegunaan dan tingkatannya. Juga ia mengatakan bahwa matematika diperlukan juga untuk mempelajari buku-buku tersebut di samping diperlukan untuk mempelajari filsafat.

Dengan demikian, selain memperlihatkan corak Platonisme dan Pitagorisme, Al-Kindi juga merupakan pengikut Aristoteles pertama di dunia Arab.


Metafisika Al-Kindi

Mengenai metafisika, meskipun Al-Kindi umumnya menyetujui pendapat-pendapat filsafat Aristoteles dan neo-Platonisme, dalam filsafatnya sendiri yang dikemukakan pada waktu itu ia telah “mengorbankan” prinsip-prinsip Aristoteles dan neo-Platonis tentang eternal creation dan nothing can come from nothing.

The Law of Emanation dari neo-Platonisme dikemukakan oleh Al-Kindi dengan menyesuaikannya kepada asas kepercayaan Islam. Alam langit yang tertinggi sekalipun menurut Al-Kindi semuanya diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Sedangkan Tuhan sendiri berada di atas ketentuan hukum alam.

Selain dari kedua penyimpangan di atas, filsafat Al-Kindi umumnya dapat menerima prinsip-prinsip metafisika Aristoteles dan neo-Platonisme.


Tentang Kenabian dan Alquran

Mengenai soal kenabian, Al-Kindi berpendapat bahwa apa yang telah dicapai oleh para nabi adalah sederajat pengetahuan yang tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia. Menurut Al-Kindi, seorang nabi dapat mencapai tingkat itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan dengan melalui jalan intuisi (wahyu). Hal itu sudah pasti melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.

Mengenai Alquran, Al-Kindi sependapat dengan kaum Mu’tazilah bahwa kebenaran Alquran lebih dapat diyakini kebenarannya daripada hasil-hasil filsafat.

Satu lagi keistimewaan Al-Kindi daripada para filsuf Islam lain ialah penerimaannya terhadap astrologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan. Di kemudian hari, pengaruh pelajaran astrologinya ini berkesan juga pada filsuf-filsuf setelah dia, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.


Kesimpulan

Dari kenyataan-kenyataan di atas, kita bapat menyipulkan bahwa Al-Kindi sebenarnya lebih berada di antara paham Mu’tazilah dan paham filsuf-filsuf Islam sesudahnya (Al-Farabi dan lain-lain) daripada bulat-bulat berada di pihak para filsuf Islam itu. Akan tetapi, karena Al-Kindilah “filsuf” pembuka jalan yang memperkenalkan hasil-hasil filsuf Yunani itu, maka orang cenderung menempatkannya ke dalam periode filsafat Islam sebagai seorang ahli ilmu kalam (golongan mutakallimin).



Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com



Read more...

Perkembangan Alam Pikir Al-Ghazali

Untuk mengenal pemikiran Al-Ghazali, kita perlu meninjau empat unsur yang ditentang Al-Ghazali, dan juga keempat-empatnya mempengaruhi pemikiran filsafatnya kelak dalam mencapai kebenaran. Keempat unsur itu adalah:

  1. Unsur pemikiran kaum mutakallimin,
  2. Unsur pemikiran kaum fisafat,
  3. Unsur kepercayaan kaum batiniyah, dan
  4. Unsur kepercayaan kaum sufi.

Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dengan segala macam alirannya. Kemudian ia melihat betapa perbedaan-perbedaan itu terjadi karena mereka berlainan dari segi mereka masing-masing memandang soalnya. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil mutakallimin saja. Lalu ia mendalami filsafat. Ia mempelajari karangan-karangan ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina.

Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pula pendapat-pendapat aliran batiniyah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau kebenaran yang mutlak itu hanya dapat diturunkan dari “imam yang ma’shum”, yang suci dari kesalahan dan dosa. Al-Ghazali menanyakan imam yang ma’shum itu. Tidak ada pengikut batiniah yang tahu di mana tempatnya dan kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa imam ma’shum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam alam kenyataan.

Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali lalu meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf. Ia mengharapkan dalam gerakan tasawuf inilah ia mendapat hakikat kebenaran yang dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata-mata, dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.

Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi sangat jernih, dan dengan tasawuf, ia merasa dibukakan oleh Tuhan sesuatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini.

Al-Ghazali memperoleh kesan bahwa orang-orang sufi (ahli tasawuf) itu benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak baik, dan mendapat pengetahuan yang tepat.

Dengan hasil ini, barulah Al-Ghazali merasa puas dengan penyelidikannya. Dan, segala pendapatnya tentang tasawuf itu (yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam) ditulisnya dalam buku yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin yang amat terkenal itu.

Sebagian orang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan seorang ahli tasawuf (sufi). Karena Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah, menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dan juga filsuf-filsuf golongan Islam, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa “akal” dan “filsafat” bukanlah alat yang paling utama baginya.

Sesungguhnya anggapan itu tidak benar. Kalau al-Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka tidak perlu diartikan bahwa Al-Ghazali menentang pemakaian akal dan amal filsafat. Malahan sebagliknya, seluruh prestasi Al-Ghazali dalam buku-bukunya itu dapat dianggap sebagai hasil akal dan karya filsafatnya yang sungguh-sungguh disesuaikannya dengan prinsip-prinsip agama Islam.

Kesimpulan “kebenaran” Al-Ghazali, yang dinamakan orang tasawuf Al-Ghazali, sebenarnya lebih tepat atau lebih berhak dinamakan “filsafat Islam” dibandingkan dengan hasil-hasil filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina, misalnya.

Memang benar bahwa mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pikiran, tetapi dalam mistik Al-Ghazali jelas sekali faktor objektivitas pikiran senantiasa lebih tampak daripada faktor perasaan. Hal itu sesuai dengan tuntunan ayat-ayat Alquran tentang pentingnya faktor akal.

Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com


Read more...

Riwayat Hidup Al-Ghazali

Namanya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, mendapat gelar Hujjatul Islam. Ia lahir tahun 450 H. di Thus., suatu kota kecil di Khurasan (Iran). Nama Al-Ghazali kadang-kadang diucapkan Al-Ghazzali (dua z). Kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan Al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali, yang terakhir inilah yang banyak dipakai.

Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya itu kepada kepada seorang tasawuf pula untuk dibimbing dan dipelihara.

Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Al-Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H./1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam Al-Malik di kota Mu’askan. Daripadanya ia mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun. Pada tahun 483 H./1090 M. ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamiah Baghdad. Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.

Sementara itu, ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya sehingga ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati. Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 488 H. untuk pergi ke Damsyik. Di kota ini ia merenung, membaca, dan menulis, selama kurang lebih lima tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.

Kemudian ia pindah ke Palestina. Di sini pun ia tetap merenung, membaca, dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu, tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji. Setelah selesai, ia pulang ke negeri kelahirannya, kota Thus. Di sana ia tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak dipindahkannya ke Damsyik. Dalam masa ini ia menuliskan buku-buku yang terkenal, antara lain Ihya ‘Ulumuddin.

Karena desakan para penguasa, yaitu Muhammad, saudara Barkhijaruk, Al-Ghzali mau kembali mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi, pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun. Akhirnya ia kembali ke kota Thus lagi. Di sana kemudian ia mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meniggal dunia pada tahun 505 H./1111 M. dalam usia 54 tahun.

Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com

Read more...

Karya Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqh), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan yang lain ditulis dengan bahasa Parsi.

Pengaruh Al-Ghazali di kalangan kaum muslimin besar sekali sehingga, menurut pandangan para ahli ketimuran (orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali.

Kitabnya yang terbesar ialah Ihya ‘Ulumuddin, artinya “menghidupkan ilmu-ilmu agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz, dan Thus. Buku ini berisi panduan yang dikenal di kalangan kaum muslimin maupun di dunia Barat dan di luar Islam.

Bukunya yang lain ialah Al-Munqidz min Adh-Dhalal (Penyelamat dan Kesesatan), yang berisi tentang sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Banyak penulis modern yang mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menulis autobiografi.

Abnu Al-‘Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian juga Pascal (Prancis, 1623-1662) dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asin Palacios, banyak persamaannya dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, tetapi harus berdasarkan hati dan rasa.

Thomas Aquinas (Itali, 1226-1274), yang dengan pedasnya menyerang Al-Ghazali, ketika menguraikan penglihatan (ru’yat) manusia terhadap Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan Al-Ghazali. Dante (Itali, 1265-1321 M.) dalam bukunya Devina Commidia (Komidi Ketuhanan) banyak mengambil tulisan Al-Ghazali tentang Mi’raj.

Banyak ahli ketimuran yang menulis buku tentang Al-Ghazali, antara lain Carra de Vaux, J. Wersink, Oberman, Asian Placios, dan Zwemmer. Tidak sedikit dari penulis-penulis Barat yang menerjemahkan buku-buku Al-Ghazali ke dalam berbagai bahasa Eropa, antara lain:

  1. Carra de Vaux menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah.
  2. De Boer dan Asian Palacios, masing-masing menerjemahkan beberapa bagian dari buku Tahafut al-Falasifah.
  3. H. Bauer menerjemahkan buku Qawaid al-‘Aqaid.
  4. Barbier de Minard menerjemahkan buku Al-Munqidz min Adh-Dhalal.
  5. W.H.T. Craidner, London, menerjemahkan buku Misykat al-Anwar.
  6. D.B. Mac Donald menerjemahkan beberapa pasal dari Ihya ‘Ulumuddin.


Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com
Read more...

Filsafat Metafisika Al-Ghazali

Untuk lebih banyak mengetahui bagaimana isi filsafat metafisika Al-Ghazali secara keseluruhan, baiklah kita tinjau terlebih dahulu bagaimana polemik Al-Ghazali terhadap filsafat pada umumnya dan filsafat Ibnu Sina c.s. dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.

Dalam buku itu, Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina c.s., dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting ialah:

  1. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada, sebab diciptakan oleh Tuhan.
  2. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradah Tuhan.
  3. Al-Ghazali menyerang kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz iyat).
  4. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali, segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini, jelas Al-Ghazali menyokong kepada ijra’ul adat dari Al-Asy‘ari.

Semua argumen (hujjah) Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah, dan teratur baik. Seperti kita maklum, Al-Ghazali juga terkenal sebagai seorang ulama mantik dan pemberi tuntunan dengan cara bermujadalah yang teratur. Misalnya dalam menjatuhkan prinsip kaum filsafat, la yasduru min al-wahid illa syai’un wahid Al-Ghazali mengemukakan contoh-contoh kaum filsafat sendiri. “Jisim tersusun dari ‘bentuk’ dan materi pertama”. Dan, susunan yang dualistis inilah (jadi bukan wahid lagi) yang menjadikannya benda yang satu (satu jisim). Manusia tersusun dari jisim (yang dualistis itu) dan jiwa, sedangkan kedua unsur ini tidak pula menjadi illat satu sama lain. Dan, dalam keadaan dualistis ini pula, yaitu dua unsur bersama-sama, dia merupakan illat bagi wujud yang lain.

Al-Ghazali menyanggah: “Bukankah kejadian ini telah menyeleweng dari prinsip mereka (kaum filsafat) sendiri?”

Mengenai teori emanasi kaum filsafat (nadzaritul faidl), bahwa tiap-tiap akal dari al-uqul al-mufarikah mengeluarkan tiga benda lain bersama-sama, yaitu akal, jiwa falak, serta jisim falak, dengan panjang lebar Al-Ghazali menampiknya. Sama seperti menampik mereka dari prinsipnya bahwa yang satu hanya keluar dari yang satu.


Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com

Read more...

Pendapat Al-Ghazali tentang Iradah Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradah (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradah Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradah itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.

Penyesuaian yang kongkret antara zarah-zarah abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan “dunia” dan kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradah Tuhan itu sendiri adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk dalam pengertian materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradah-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles menamakan sebab dan peristiwa itu sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausal), tetapi Al-Ghazali, seperti juga Al-Asy’ari, menamakannya hanya ijra al-adat saja. Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpang dari kebiasaan sebab dan akibat itu.

Tuhan bukan memindahkan soal yang satu (faktor sebab) kepada soal yang lain (faktor akibat), melainkan menciptakan dan menghancurkannya, dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam mengartikan sebab kepada akibat itu, seperti filsafat Alam Al-Asy’ari.

  • Riwayat Hidup Al-Ghazali

  • Karya Al-Ghazali
  • Perkembangan Alam Pikir Al-Ghazali
  • Filsafat Metafisika Al-Ghazali
  • Pendapat Al-Ghazali tentang Iradah Tuhan
  • Filsafat Etika Al-Ghazali


Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com
Read more...

Filsafat Etika Al-Ghazali

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawuf-nya dalam buku Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawuf-nya.

Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi akhlaqillahi ‘ala taqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi syifatir rahman’ala thaqatil basyariyah.

Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.

Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal ath-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersih rohani.

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) kepada Tuhan.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani, yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagaimana cara ber-taqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.

Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yakni kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.

Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit pun, dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin (musyahadah al-qalbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.

Al-Ghazali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.


  • Riwayat Hidup Al-Ghazali

  • Karya Al-Ghazali
  • Perkembangan Alam Pikir Al-Ghazali
  • Filsafat Metafisika Al-Ghazali
  • Pendapat Al-Ghazali tentang Iradah Tuhan
  • Filsafat Etika Al-Ghazali


Sumber: Buku “Seluk-Beluk Filsafat Islam”.

Penulis: Drs. Poerwantana, dkk.

Dipublikasikan kembali oleh http://paratokoh.blogspot.com
Read more...